Gerakan Tutup Mulut (GTM) pada Anak - Simak Cara Mengatasinya!

Article 16 Apr 2025 |
img author
Risda Monica, S.Gz., Dietisien
Aksi Gerakan Tutup Mulut pada Anak

Gerakan Tutup Mulut (GTM) pada anak merupakan salah satu tantangan yang sering dihadapi orang tua dalam proses pemberian makanan, terutama pada masa pengenalan makanan pendamping ASI (MPASI). Fenomena ini sering menimbulkan kekhawatiran, kebingungan, bahkan stres pada orang tua, karena dikhawatirkan akan memengaruhi asupan gizi dan tumbuh kembang anak.

Oleh karena itu, penting untuk memahami penyebab dan cara mengatasi GTM agar proses makan tetap menjadi pengalaman yang positif dan menyenangkan bagi anak maupun orang tua. 

Apa Itu Gerakan Tutup Mulut (GTM)?

Gerakan Tutup Mulut atau lebih dikenal dengan istilah GTM yaitu kesulitan makan atau menolak makan yang sering dialami anak pada tahun pertama. Kondisi ini biasa terjadi pada anak usia 6-9 bulan, ketika anak mulai dikenalkan dengan makananan.

GTM biasanya bersifat sementara dan bisa berakhir dalam beberapa hari hingga minggu, tergantung penyebabnya. Jika ditangani dengan sabar dan tanpa paksaan, anak umumnya akan kembali mau makan seiring waktu. Namun, jika GTM berlangsung lama dan memengaruhi tumbuh kembang, sebaiknya konsultasikan dengan dokter. 

Ciri-Ciri GTM pada Anak 

Ciri-ciri Gerakan Tutup Mulut (GTM) cukup mudah dikenali karena anak menunjukkan penolakan makan secara langsung dan konsisten. Beberapa tanda yang umum terlihat antara lain:

  1. Menutup rapat mulutnya saat disodori makanan

  2. Memalingkan wajah menjauh dari sendok atau makanan

  3. Menggunakan tangan untuk mendorong alat makan

  4. Menunjukkan ekspresi tidak nyaman seperti mengerutkan wajah, merengek, atau bahkan menangis saat sesi makan dimulai 

Pada beberapa kasus, anak yang mengalami GTM mungkin juga menolak duduk di kursi makan atau menjadi rewel setiap kali melihat persiapan makan. Meskipun perilaku ini bisa muncul secara tiba-tiba, GTM tidak selalu menandakan adanya masalah serius. Namun, penting bagi orang tua untuk jeli membedakan antara GTM biasa dengan tanda gangguan makan yang lebih serius, terutama jika berlangsung lama atau menyebabkan penurunan berat badan dan pertumbuhan yang tidak optimal. 

Faktor Penyebab GTM 

Gerakan Tutup Mulut (GTM) pada bayi umumnya terjadi karena beberapa faktor yang saling berkaitan. Salah satunya adalah komposisi MPASI yang tidak adekuat, baik dari segi gizi, tekstur yang belum sesuai, maupun cara pemberiannya yang kurang tepat.

Selain itu, GTM juga bisa disebabkan oleh praktik pemberian makan yang keliru, atau dikenal dengan istilah inappropriate feeding practices. Ini mencakup perilaku makan yang tidak sesuai aturan (feeding rules) maupun jenis makanan yang tidak cocok untuk usia anak.

Tanpa disadari, beberapa kebiasaan orang tua masih termasuk dalam kategori inappropriate feeding practices. Contohnya, memaksa anak untuk makan saat ia menolak, baik dengan ancaman, iming-iming, atau tekanan emosional. Alih-alih membuat anak mau makan, cara ini justru bisa menyebabkan trauma makan, menurunkan nafsu makan, dan membentuk hubungan yang negatif antara anak dan makanan.

Praktik lainnya yang juga kurang tepat adalah memberi makan sambil menonton TV atau menggunakan gadget. Meski terlihat membantu agar anak tetap duduk tenang, kebiasaan ini sebenarnya mengganggu kemampuan anak mengenali rasa lapar dan kenyang, serta menghambat proses belajar makan secara mandiri.

Dampak GTM 

Selain memengaruhi tumbuh kembang fisik, GTM juga berpotensi menyebabkan gangguan kognitif dan perilaku. Kondisi ini bahkan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan kecemasan serta kelainan makan (eating disorder) yang bisa muncul sejak masa kanak-kanak hingga remaja dan dewasa muda.

Lebih jauh lagi, GTM dapat memicu berbagai masalah gizi seperti gizi buruk dan stunting, yang berdampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kualitas hidup anak.

Tips Mengatasi GTM

Untuk membantu orang tua menghadapi Gerakan Tutup Mulut (GTM) pada anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memberikan sejumlah rekomendasi yang berfokus pada pembentukan suasana makan yang positif. Tujuan utamanya adalah mendukung terbentuknya kebiasaan makan yang sehat sekaligus menunjang tumbuh kembang anak secara optimal.

1. Atur jadwal makan yang teratur

Anak membutuhkan pola makan yang konsisten agar tubuhnya bisa mengenali rasa lapar dan kenyang dengan baik. Jadwal makan yang teratur, misalnya 3 kali makan utama dan 2 kali camilan sehat per hari, membantu anak memiliki waktu khusus untuk makan tanpa terganggu aktivitas lain. 

2. Buat lingkungan makan yang menyenangkan

Suasana makan yang tenang, tanpa tekanan, serta bebas dari distraksi seperti gadget atau televisi, membuat anak lebih fokus dan nyaman saat makan. Orang tua juga disarankan untuk memberi contoh dengan ikut makan bersama anak. 

3. Dorong anak untuk makan sendiri

Memberi kesempatan pada anak untuk makan sendiri, meskipun berantakan, membantu membangun rasa percaya diri dan kemandirian. Anak cenderung lebih antusias jika diberi kontrol atas apa yang mereka makan. 

4. Jangan paksa anak makan

Memaksa anak makan justru bisa memperburuk GTM dan membuat anak trauma terhadap kegiatan makan. Sebaiknya, tawarkan makanan dengan tenang, dan jika anak menolak, tunggu sampai waktu makan berikutnya. 

5. Variasikan menu makanan

Memberi makanan dengan rasa, warna, dan tekstur yang beragam dapat meningkatkan minat anak terhadap makanan. Perubahan menu secara berkala mencegah kebosanan dan memperluas penerimaan rasa baru. 

6. Hargai selera makan anak

Setiap anak memiliki preferensi makanan masing-masing. Orang tua perlu memahami bahwa wajar jika anak tidak langsung menyukai semua jenis makanan. Tawarkan secara berulang dalam suasana yang positif. 

7. Kurangi camilan manis 

Camilan tinggi gula bisa membuat anak kenyang sebelum waktu makan utama dan menurunkan nafsu makan. Pilih camilan sehat seperti buah, sayur kukus, atau biskuit gandum. 

8. Buat makanan semenarik mungkin 

Penampilan makanan yang menarik, seperti bentuk lucu atau warna cerah, bisa meningkatkan selera makan anak. Kreativitas dalam penyajian menjadi daya tarik tersendiri. 

9. Libatkan anak dalam proses memasak 

Anak yang terlibat dalam menyiapkan makanan, seperti mencuci sayur atau memilih menu, biasanya lebih antusias untuk mencoba hasil buatannya sendiri. Aktivitas ini juga mempererat hubungan orang tua dan anak. 

Jadwal Makan Anak 

Menurut pedoman dari WHO, jadwal makan anak dalam sehari sebaiknya mencakup waktu makan utama dan makan selingan yang teratur, dengan durasi makan tidak lebih dari 30 menit. Anak sebaiknya tidak diberikan air minum di luar waktu makan, kecuali di sela-sela makan utama, agar tidak mengganggu nafsu makannya.

Lingkungan saat makan juga berperan penting dalam membentuk kebiasaan makan yang baik. Suasana makan harus mendukung, tanpa tekanan atau paksaan, dan bebas dari distraksi seperti televisi, gadget, mainan, atau permainan lainnya. Anak juga tidak dianjurkan diberi hadiah sebagai imbalan karena telah makan, agar proses makan tidak dikaitkan dengan penghargaan eksternal.

Selama makan, anak didorong untuk belajar makan sendiri. Orang tua dapat menawari makanan tanpa memaksa. Jika setelah 10–15 menit anak tetap tidak mau makan, proses makan sebaiknya diakhiri dengan tenang, tanpa tekanan, untuk menjaga suasana yang positif.

Berikut contoh jadwal makan anak usia 1–5 tahun dalam satu hari: 

08.00

Sarapan (makan utama) bergizi.

10.00

Camilan. Porsi kecil, cukup untuk mengganjal lapar sebelum makan siang. 

12.00

Makanan utama dengan komposisi seimbang. 

15.00

Camilan sore. Ringan, sehat, dan tidak membuat terlalu kenyang menjelang makan malam.

18.00

Makanan utama, tidak terlalu berat agar tidur malam tidak terganggu.

19.30

Susu (opsional). Jika anak masih minum susu, bisa diberikan dalam jumlah terbatas.

 

Referensi

 Chumairoh, N. (2021). Gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang feeding rules pada batita Gerakan Tutup Mulut (GTM). CoMPHI Journal: Community Medicine and Public Health of Indonesia Journal, 1(3), 148-154. 

ic-brand
Tunggu sebentar