Alergi susu sapi dan intoleransi laktosa sering dianggap sama, padahal keduanya adalah kondisi yang sangat berbeda. Meskipun sama-sama melibatkan reaksi tubuh terhadap produk susu, penyebab, gejala, dan cara penanganannya tidaklah serupa. Banyak orang yang keliru membedakan antara alergi dan intoleransi ini, sehingga penting untuk memahami perbedaannya agar tidak salah langkah dalam menghindari atau menangani kondisi tersebut.
Artikel ini akan membahas secara lengkap perbedaan antara alergi susu sapi dan intoleransi laktosa, serta cara mengenali dan mengelolanya dengan tepat.
Data tentang Alergi Susu Sapi dan Intoleransi Laktosa
Secara umum, prevalensi alergi susu sapi pada anak-anak Indonesia diperkirakan berkisar antara 2% hingga 7,5%, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Berdasarkan data dari jurnal Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, sekitar 21,3% anak usia 3–5 tahun mengalami intoleransi laktosa. Angka ini meningkat secara signifikan menjadi 57,8% pada anak usia 6–11 tahun, dan mencapai 73% pada kelompok remaja usia 12–14 tahun menurut studi dari Paediatrica Indonesiana.
Perbedaan Alergi Susu Sapi dan Intoleransi Laktosa
Alergi susu sapi tidak sama dengan intoleransi laktosa. Secara mekanisme biologi, alergi susu sapi merupakan reaksi sistem imun terhadap protein dalam susu sapi, seperti kasein dan β-laktoglobulin. Kondisi ini dapat memicu respons imun yang berlebihan, termasuk produksi antibodi IgE, yang dapat menyebabkan gejala sistemik dan, dalam kasus parah, anafilaksis.
Sementara itu, intoleransi laktosa merupakan ketidakmampuan tubuh untuk mencerna laktosa, gula alami dalam susu, akibat kekurangan enzim laktase di usus halus. Akibatnya, laktosa yang tidak tercerna masuk ke usus besar dan difermentasi oleh bakteri, sehingga menghasilkan gas dan asam yang memicu gejala gangguan pencernaan.
Perbedaan Reaksi antara Alergi Susu Sapi dan Intoleransi Laktosa
Gejala Alergi Susu Sapi
Gejala dapat mencakup ruam kulit, gatal-gatal, pembengkakan pada wajah atau bibir, muntah, diare, dan dalam kasus parah, anafilaksis. Gejala ini biasanya muncul segera setelah mengonsumsi produk susu sapi.
Gejala Intoleransi Laktosa
Gejala terbatas pada sistem pencernaan, seperti kembung, gas, diare, dan kram perut. Gejala ini muncul beberapa waktu setelah mengonsumsi produk susu yang mengandung laktosa.
Cara Mengetahui Alergi Susu Sapi dan Intoleransi Laktosa
Diagnosis Alergi Susu Sapi
1. Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test)
Uji tusuk kulit dapat dilakukan pada anak dengan batasan usia terendah yaitu 4 bulan dimana hasil uji tusuk biasanya lebih kecil pada anak < 2 tahun sehingga perlu dilakukan interpretasi hasil pemeriksaan dengan hati – hati.
2. IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
Uji IgE RAST dapat dilakukan jika uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan karena adanya lesi kulit yang luas di daerah pemeriksaan, atau bila penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin.
3. Uji Eliminasi dan Provokasi
Uji eliminasi dan provokasi masih merupakan baku standar untuk diagnosis alergi susu sapi. Selama eliminasi, bayi dengan manifestasi klinis alergi ringan hingga sedang diberikan susu formula terhidrolisat ekstensif, sedangkan bayi dengan gejala alergi berat diberikan susu formula berbasis asam amino.
Uji provokasi dikatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul kembali, sehingga diagnosis alergi susu sapi dapat ditegakan. Apabila hasil ujinya negatif, bayi diperbolehkan minum formula susu sapi.
Diagnosis Intoleransi Laktosa
1. Tes Napas Hidrogen (Hydrogen Breath Test)
Tes ini dianggap sebagai metode yang paling umum dan andal untuk mendiagnosis intoleransi laktosa. Setelah berpuasa semalaman, pasien akan mengonsumsi larutan yang mengandung laktosa. Jika laktosa tidak dapat dicerna dengan baik, bakteri di usus besar akan memfermentasinya, menghasilkan gas hidrogen yang kemudian terdeteksi dalam napas pasien. Peningkatan kadar hidrogen lebih dari 20 ppm dibandingkan dengan nilai dasar dalam periode waktu tertentu menunjukkan kemungkinan intoleransi laktosa.
2. Tes Toleransi Laktosa (Lactose Tolerance Test)
Tes ini melibatkan pengukuran kadar glukosa darah sebelum dan setelah mengonsumsi larutan yang mengandung laktosa. Pada anak-anak yang intoleran terhadap laktosa, kadar glukosa darah biasanya tidak meningkat secara signifikan setelah konsumsi laktosa. Namun, tes ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan dengan tes napas hidrogen.
3. Tes Asam Feses (Stool Acidity Test)
Tes ini digunakan terutama pada bayi dan anak-anak yang tidak dapat menjalani tes lainnya. Setelah mengonsumsi laktosa, jika laktosa tidak dicerna, bakteri di usus besar akan memfermentasinya menjadi asam laktat, yang menurunkan pH feses. Penurunan pH feses di bawah 5,5 dapat menunjukkan intoleransi laktosa.
Ciri-Ciri Alergi Susu Sapi dan Intoleransi Laktosa
Alergi Susu Sapi | Intoleransi Laktosa |
---|---|
Gangguan pencernaan: Muntah, diare, nyeri perut, dan kolik. | Diare: Tinja berair dan berbau asam, sering disertai iritasi di sekitar anus. |
Reaksi kulit: Ruam, gatal, urtikaria (biduran), atau dermatitis atopik. | Perut kembung dan sering buang angin: Akibat fermentasi laktosa yang tidak tercerna oleh bakteri di usus. |
Reaksi kulit: Ruam, gatal, urtikaria (biduran), atau dermatitis atopik. | Nyeri perut dan kram: Bayi sering menangis dan rewel, serta menekuk kaki ke arah perut. |
Gangguan pernapasan: Batuk, pilek, mengi, dan sesak napas. | Mual dan muntah: Dapat terjadi setelah mengonsumsi produk susu. |
Gejala sistemik: Pembengkakan pada bibir, lidah, atau wajah, serta rewel berlebihan. | Berat badan tidak bertambah: Karena penyerapan zat gizi yang terganggu. |
Penanganan Alergi Susu Sapi dan Intoleransi Laktosa
Penanganan Alergi Susu Sapi
1. Eliminasi Diet
Langkah utama adalah menghindari konsumsi susu sapi dan produk turunannya. Pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, ibu dianjurkan untuk menghindari konsumsi susu sapi dan produk turunannya. Pada bayi yang mengonsumsi susu formula, dapat diberikan formula hipoalergenik seperti formula hidrolisat ekstensif (eHF) atau formula asam amino. Formula eHF direkomendasikan untuk gejala ringan hingga sedang, sedangkan formula asam amino untuk gejala berat atau jika tidak ada perbaikan dengan eHF.
2. Uji Provokasi
Setelah 6–12 bulan diet eliminasi, dilakukan uji provokasi dengan memberikan susu sapi standar di bawah pengawasan medis. Jika gejala muncul kembali, diagnosis ASS ditegakkan dan diet eliminasi dilanjutkan.
3. Pengelolaan Gejala
Untuk gejala ringan, dapat diberikan antihistamin. Pada kasus anafilaksis, pemberian epinefrin intramuskular diperlukan.
Penanganan Intoleransi Laktosa
1. Pembatasan Konsumsi Laktosa
Batasi konsumsi susu dan produk olahannya. Produk seperti yoghurt dan keju umumnya lebih mudah dicerna dan dapat dikonsumsi dalam jumlah terbatas
2. Alternatif Susu
Pilih susu non-susu seperti susu kedelai atau susu almond. Pastikan produk tersebut bebas laktosa dan diperkaya dengan kalsium dan vitamin D.
3. Konsumsi Bersama Makanan
Mengonsumsi susu bersamaan dengan makanan lain dapat memperlambat proses pencernaan susu dan mengurangi gejala intoleransi laktosa.
Referensi:
Wiartika, I. G. N. K. A., & Purnamawati, I. A. P. (2023). Tinjauan Pustaka: Alergi Susu SAPI. Ganesha Medicina, 3(1), 29-40.
Yohmi, E., Boediarso, A. D., Hegar, B., Dwipurwantoro, P. G., & Firmansyah, A. (2016). Intoleransi laktosa pada anak dengan nyeri perut berulang. Sari Pediatri, 2(4), 198-204.